Minggu, 01 Juni 2014

Gejalah-Gejalah Persepsi Lingkungan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang dilahirkan paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan kognitif untuk memproses informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekelilingnya melalui indera yang dimilikinya, membuat persepsi terhadap apa-apa yang dilihat atau dirabanya, serta berfikir untuk memutuskan aksi apa yang hendak dilakukan untuk mengatasi keadaan yang dihadapinya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pada manusia meliputi tingkat intelejensi,kondisi fisik, serta kecepatan sistem pemrosesan informasi pada manusia. Bila kecepatan sistem pemrosesan informasi terganggu, maka akan berpengaruh pada reaksi manusia dalam mengatasi berbagai kondisi yang dihadapi.
Keterbatasan kognitif terjadi apabila terdapat masalah atau gangguan pada kemampuan kognitif. Masalah yang dialami bisa terjadi sejak lahir, atau terjadi perubahan pada tubuh manusia seperti terluka, terserang penyakit, mengalami kecelakaan yang dapat menyebabkan kerusakan salah satu indera, fisik atau juga mental. Akibat dari adanya keterbatasan kognitif ini, manusia menjadi tidak mampu untuk memproses informasi dengan sempurna. Dengan ketidaksempurnaan ini maka manusia yang memiliki keterbatasan kognitif mengalami masalah dalam meraba, mempelajari atau berfikir untuk bereaksi terhadap keadaan yang dihadapinya.
Persepsi dalam arti sempit melibatkan pengalaman kita tapi secara psikis pengertian itu tidaklah tepat. Tetapi lebih tepatnya persepsi merupakan proses yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indera kita ( penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling kita, termasuk sadar dengan diri kita sendiri. Dan didalam mempersepsi keadaan sekitar maka kita harus melibatkan indra kita maka akan lahir sebuah argumen yang berasal dari informasi yang dikumpulkan dan diterima oleh alat reseptor sensorik kita sehingga kita dapat menggabungkan atau mengelompokkan data yang telah kita terima sebelumnya melalui pengalaman awal kita
Salah satu hal yang dipersepsi manusia tentang lingkunganya adalah ruang (space) di sekitarnya. Pengertian ruang itu termasuk persepsi tentang jarak jauh-dekat, luas-sempit , longgar-sesak, kurang nyaman- nyaman . Untuk lebih memahami tentang persepsi manusia terhadap lingkungan maka dalam makalah ini akan di jelaskan gejalah-gejalah persepsi lingkungan secara lebih detail.
1.2  Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Personal Space ?
  2. Apa yang dimaksud dengan Privacy dan jenis-jenisnya ?
  3. Bagaimana kaitanya Privacy dan Personal Space ?
  4. Bagaimana hubungan Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density) ?
  5. Apa yang dimaksud dengan Peta Mental ?
  6. Apa yang dimaksud dengan Stress ?
1.3  Tujuan
Menambah pengetahuan tentang gejala-gejala persepsi individu terhadap lingkungan sehingga dapat memahami bagaimana respons individu terhadap persepsi tersebut.
1.4  Manfaat








BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Personal Space
Manusia mempersepsikan ruang di sekitarnya lengkap dengan isinya, tidak berdiri sendiri. Jika isi ruang itu adalah manusia lain maka orang langsung akan membuat suatu jarak tertentu antara dirinya sendiri dengan orang lain itu dan jarak itu sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas hubungan dengan orang itu.
Ungkapan dalam kalimat sehari-hari dapat menunjukkan bagaimana sebenarnya kualitas hubungan antarmanusia yang terjadi. Misalnya seorang karyawan mengatakan kepada rekannya “ Bapak Direktur kita yang baru, masih termasuk keluarga dekat dengan saya. “ kalimat ini berarti bahwa sekalipun di kantor karyawan itu harus menjaga jarak antara dirinya sendiri dengan Bapak Direktur, tetapi di rumah ia lebih bebas ngobrol sambil berposisi berdekatan dengan Bapak Direktur itu. Atau jika seorang suami mengatakan pada istrinya, “ aku akhir-akhir ini merasa makin jauh dari kamu.” Itu berarti bahwa ia merasa bahwa istrinya tidak mau didekatinya lagi secara fisik sampai batas tertentu. Padahal sebelumnya sang suami tidak ada masalah dalam hal kedekatan fisik dengan istrinya.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kehidupan sehari-hari jarak yang diperkenankan oleh seseorang terhadap orang (orang-orang) lainnya bergantung sekali pada bagaimana sikap dan pandangan orang yang bersangkutan terhadap orang(orang-orang) lainnya itu. Makin merasa akrab dia, makin dekatlah jarak yang diperkenankannya. Sebaliknya, lawan bicaranya itu juga bisa memperkirakan bagaimana sikap dan pandangan orang pertama itu menjaga jarak. Kalau reaksinya ketika didekati justru ia makin menjauhkan diri, itu berarti ia kurang suka kepada lawan bicaranya. Akan tetapi, kalau reaksi waktu didekati malah makin memperdekat jarak, artinya orang itu bersedia untuk berhubugan akrab. Dengan kata lain, dalam psikologi lingkungan, jarak antarindividu ini adalah juga sarana komunikasi.
Sebagai sarana komunikasi antarindividu inilah persepsi ruang seseorang dinamakan personal space.J.D. Fiser dkk. (1984:149) mendefinisikan personal space sebagai suatu batas maya yang mengelilingi diri kita yang tidak boleh dilalui oleh orang lain.
Definisi itu ternyata sangat mirip dengan yang diajukan oleh Holahan (1982:275). Jadi personal space itu seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung yang menyelubungi diri kita dan tabung itu membesar dan mengecil bergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Menurut Hall (1963) (dalam Holahan, 1982:275 dan Fisher, 1984:153) ada 4 macam jarak personal space, yaitu :
1.      Jarak intim (0-18 inci / 0-0,5 m), yaitu jarak untuk berhubungan seks, untuk saling merangkul antar kekasih, sahabat atau anggota keluarga, atau untuk melakukan olahraga kontak fisik seperti gulat dan tinju.
2.      Jarak personal (18 inci – 4 kaki / 0,5 – 1,3 m), yaitu jarak untuk percakapan antara 2 sahabat antar orang yang sudah saling akrab.
3.      Jarak social (4 -12 kaki / 1,3 – 4 m), yaitu untuk hubungan yang bersifat formal seperti bisnis, dan sebagainya.
4.      Jarak public (12 – 25 kaki / 4 – 8,3 m), yaitu untuk hubungan yang lebih formal lagi seperti penceramah atau actor dengan hadirinnya.
Selanjutnya Hall mengatakan bahwa fungsi personal space ini sebagai alat komunikasi bisa diteliti secara khusus. Ilmu untuk meneliti personal space ini dinamakannya proxemics (proxy = jarak), yaitu ilmu tentang space sebagai media hubungan antar manusia (Holahan, 1982:274). Salah satu metode yang dipakai dalam proxemics adalah prosedur stop-jarak, yaitu orang percobaan (o.p) diminta untuk duduk atau berdiri disuatu tempat tertentu dan orang lain diminta untuk mendekatinya secara bertahap (makin lama makin dekat). Jika o.p sudah merasa terganggu atau kurang senang maka ia harus menyuruh orang lain itu berhenti dan pemimpin percobaan (p.p) akan mencatat jarak antara o.p. dan orang lain itu saat dia dihentikan.jarak inilah yang menunjukkan personal space dari o.p. terhadap orang yang bersangkutan (Holahan, 1982:282). Sekali lagi, ternyata jarak itu bervariasi bergantung siapa yang mendekati o.p dan dalam keadaan apa o.p. didekati serta siapakah o.p. itu sendiri.
Heshka dan Nelson (1972) (dalam Fisher, 1984:155) melaporkan bahwa salah satu penentu perbedaan jarak dalam personal personal space yang bergantung pada diri individu itu sendiri adalah jenis kelamin dari individu yang bersangkutan. Wanita maupun pria sama-sama membuat jarak dengan lawan bicara yang berlainan jenis kelaminnya. Sebaliknya dalam hal lawan bicaranya sesama jenis, wanita akan mengurangi jarak personal spacenya jika lawan bicaranya itu akrab. Semakin akrab semakin kecil jarak personal spacenya. Akan tetapi, pada laki-laki keakraban antarsesama jenis tidak berpengaruh pada personal space. Dengan kata lain, pada laki-laki jarak itu akan sama saja, terlepas daripada kadar keakraban hubungan antarorang yang bersangkutan.
Factor umur juga berpengaruh pada personal space seseorang. Pada umumnya, makin tambah umur seseorang, makin besar jarak personal space yang akan di kenakannya pada orang-orang tertentu. Pada remaja, misalnya , personal space terhadap lawan jenis akan lebih besar daripada anak-anak. Sebaliknya, anak-anak akan membuat jarak yang lebih besar dengan orang yang tidak dikenal daripada remaja atau orang dewasa.
Pada usia berapakah personal space ini mulai timbul pada diri seseorang ? mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Duke dan Wilson (1973) serta Ebert dan Lepper (1975) (dalam Fisher, 1984:159) menyatakan berdasarkan penelitian-penelitian mereka bahwa personal space itu mulai timbul pada usia 45 – 63 bulan. Akan tetapi, Altman (1975) (dalam Fisher, 1984:159) menyatakan bahwa personal space itu baru tumbuh pada usia remaja.
Selanjutnya dibuktikan juga bahwa tipe kepribadian itu sendiri berpengaruh pada personal space seseorang. Doke dan Nowicki (1971) (dalam Filsher 1984:160) menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian eksternal (merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan oleh faktor-faktor dirinya sendiri) memerlukan jarak personal space yang lebih besar dibandingkan orang bertie internal (merasa bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh dirinya sendiri).
Dalam penelitian lain, Cook (1970) (dalam Fisher, 1984:160) juga mengemukakan bahwa orang bertipe ekstrovert (lebih terbuka terhadap orang lain) memerlukan jarak personal space yang lebih kecil daripada tipe introvert (lebih berorientasi pada dirinya sendiri).
Selanjutnya Holahan (1982:279) melaporkan bahwa latar belakang suku bangsa dan kebudayaan seseorang juga mempengaruhi personal spacenya. Misalnya, orang Jerman lebih formal dalam berkomunikasi dengan orang lain dan karenanya mereka lebih menjaga jarak. Jika personal space mereka terganggu, sikapmereka menjadi ofensif. Di pihak lain, orang Inggris juga menjaga personal space dalam jarak yang jauh, tetapi lebih disebabkan oleh keinginan mereka untuk tidak mengganggu personal space orang lain. Mereka berbicara berbisik-bisik dengan temannya jika ada orang ketiga yang ingin mereka jaga personal spacenya. Akan tetapi, perbuatan ini oleh orang Amerika justru dianggap tidak menyenangkan karena bisa disangka sedang membicarakan suatu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang ketiga tersebut.
Orang Arab lain lagi, dalam berkomunikasi mereka harus sangat berdekatan. Dengan sesame jenis, kaum lelakinya saling merangkul dan mencium, bahkan mencium bau badan lawan bicaranya merupakan bagian yang diharuskan dalam berkomunikasi. Akhirnya variasi dalam personal space ini ternyata dipengaruhi juga oleh keadaan lingkugan dimana orang-orang yang sedang berinteraksi itu berada. Dalam ruang yang sempit diperlukan jarak lebih lebar daripada ruang yang luas (Daves dan Swaffer, 1971). Penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap personal space (Baum dkk., 1974). Dalam keadaan gelap orang cenderung untuk saling menyentuh (Gergen dkk., 1973) (dalam Fisher, 1984:161)
2.2  Privacy
Di atas telah dijelaskan bahwa orang Jerman cenderung untuk menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Personal space yang besar ini ternyata sesuai pula dengan kecenderungan mereka untukmembuat pintu-pintu yang tebal dan ruangan-ruangan kedap suara. Maksudnya agar mereka bisa mengurangi gangguan dari luar terhadap dirinya sampai ke tingkat yang paling minimal. Dalam psikilogi lingkungan, gejala ini dinamakan privacy. Jadi privacy adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.
Jika kita meminjam istilah psikoanalisis, privacy berarti dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak dikehendakinya. Holahan (1982:237) pernah membuat alat untuk mengukur kadar dan mengetahui jenis-jenis privacy (privacy preference scale) dan ia mendapatkan bahwa ada 6 jenis dalam privacy yang terbagi dalam dua golongan.
1.      Golongan pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini terwujud dalam tingkah laku menarik diri (withdrawal) yang terdiri atas 3 jenis.
a.       Keinginan untuk menyendiri (solitude).
b.      Keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas (seclusion).
c.       Keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang-orang (misalnya dengan keluarga) atau orang tertentu saja (misalnya dengan pacar),tetapi juah dari semua orang lainnya.
2.      Golongan kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya member informasi yang dianggap perlu (control of information). Tiga jenis privacy yang termasuk dalam golongan ini adalah :
a.       Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anonimity)
b.      Keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve); dan
c.       Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Khusus golongan kedua dari jenis-jenis privacy ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu tentang diri sendiri. Namun antara privacy dan kerahasiaan (secrecy) ada perbedaan yang hakiki. Menurut Warren dan Laslett (1977) (dalam Holahan, 1982:239), perbedaan antara kedua konsep itu adalah privacy merupakan konsensus masyarakat dan merupakan hak individu yang diakui oleh masyarakat, sedangkan secrecy lebih mempunyai konotasi negative, tidak disukai masyarakat dan tidak ada kaitannya dengan hak individu.
Dari uraian diatas nampak bahwa privacy ini merupakan inti dari personal space. Menurut Holahan (1982:275), privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space adalah perwujudan privacy itu dalam bentuk ruang (space). Dengan demikian, privacy ini juga mempunyai fungsi dan merupakan bagian dari komunikasi. Misalnya, Holahan (1982:243) mengatakan bahwa adanya kemungkinan untuk sewaktu-waktumengundurkan diri atau menghindar dariseseorang yang tidak disuakai akan menyebabkan hubungan dengan orang yang tidak disukai itu bisa lebih bertahan daripada jika kemungkinan untuk menghindar itu sama sekali tidak ada.
Selain itu, privacy juga berfungsi mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses ketelanjangan social, yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasiadiri sendiri sehingga timbul rasa malu menghadapi orang lain. Selain itu, juga terjadi proses deindividuasi dimana orang merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai lagi karena itu ia pun tidak peduli pada harga diri sendiri maupun harga diri orang lain. Gejala seperti ini terjadi misalnya pada orang (misalnya artis)yang kisah-kisah pribadinya digosipkan di media massa (gangguan terhadap akses informasi pribadi) atau pasien-pasien rumah sakit jiwa yang terus-menerus diobservasi selama 24 jam, diperiksa secara fisik secara rutin dan WC-WC sengaja dibuat tak berpintu (gangguan terhadap akses fisik).
2.3 Teritoriality
            Teritorialitas merupakan tempat yang nyata, relatif tetap, dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Contohnya, jika di suatu tempat parkir sebuah kantor sudah terpampang papan bertuliskan “Direktur” di salah satu tempat parkir, maka orang lain diharapkan untuk tidak memarkir kendaraannya di tempat itu karena tempat itu sudah merupakan teritori atau wilayah parkir Bapak Direktur.
            Dari uraian di atas dapat didefinisikan: Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar (Holahan, 1982:235)
            Fisher (1984:176) menyatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi dari orang dari atau orang-orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi itu ada yang aktual (teritorialitas terhadap kamar tidur, ruang kantor, atau batas wilayah negara), tetapi ada juga yang hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat (teritorialitas terhadap bangku kuliah atau suatu tempat di bawah pohon rindang). Contoh masalahnya: jika seorang penghuni liar di perkampungan kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia tidak akan mau karena ia merasa gubuknya itu sudah menjadi teritorinya karena ia sudah menghuni tempat itu bertahun-tahun tanpa ada yang mengusiknya. Padahal menurut ketentuan Dinas Tata Kota, kepemilikan harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di sinilah akan timbul konflik teritori antar pihak yang berselisih.
            Konflik-konflik teritorialitas terjadi karena  beberapa tingkah laku manusia, diantaranya: menyatakan kepada orang lain bahwa suatu tempat memang miliknya. Selanjutnya ia merasa hanya dirinya sendiri saja yang berhak melakukan sesuatu atas teritori tersebut. Setelah itu ia mengembangkan pikiran-pikiran tentang teritori. Dan yang terakhir, orang akan mempertahankan teritorinya tersebut.
            Menurut Ley dan Cibriwsky (1976) (dalam Fisher, 1984:183), kecenderungan agretivitas teritorial pada manusia lebih besar pada hewan. Kecenderungan itu akan menjadi paling besar pada situasi-situasi dimana batas-batas teritori tidak jelas atau bisa dipermasalahkan. Itulah sebabnya perkelahian antar gang anak remaja di kota-kota besar lebih sering terjadi jika wilayah kekuasaan mereka tidak jelas.
            Fungsi teritorialitas pada hewan menurut Fisher (1984:178) adalah dorongan untuk mempertahankan hidup, contohnya mendiami tempat hunian, menyimpan makanan di tempat tertentu, mencari makan, dan melindungi anak-anak hewan dari serangan binatang. Oleh K. Lorenz (1976), dorongan yang mendasari tingkah laku pada hewan dinamakan naluri teritori (Fisher, 1984:177). Dengan demikian, teritorialitas pada manusia mempunyai fungsi lebih tinggi daripada sekedar fungsi survival.
            Sebagai media komunikasi, sama halnya dengan personal space , teritori juga terbagi dalam beberapa golongan. Penggolongan yang dianjurkan oleh Altman (dalam Fisher, 1984:177) adalah sebagai berikut:
1.      Teritori primer, yaitu tempat-tempat yang sangat pribadi, sifatnya hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab hubungannya atau sudah mendapatkan ijin khusus. Misalnya, rumah dan ruangan kantor.
2.      Teritori sekunder, yaitu tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang sudah cukup saling mengenal. Misalnya, ruang kelas, kantin khusus di kantor, ruang latihan untuk team olahraga maupun kesenian.
3.      Teritori publik, yaitu tempat-tempat terbuka untuk umum dan semua orang diperkenankan untuk berada di tempat itu. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan ruang sidang pengadilan.

2.4   Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density)

Bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan adalah kesesakan (crowding). Kalau kita berada dalam kereta api atau bus yang penuh dengan penumpang, kita merasa sesak karena didesak – desak orang lain. Demikian juga kalau kita menghadiri resepsi perkawinan yang dihadiri oleh ribuan undangan dan kita harus antri lama sekali untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin, kita merasa sesak. Jadi jelaslah bahwa kesesakan ada  hubungannya dengan kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia dalam suatu batas ruang tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasmya ruangan, makin padatlah keadaannya.

Hubungan antara kepadatan dan kesesakan memiliki dua ciri :
1.      Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam artian jumlah manusia. Jadi tidak termasuk di dalamnya kepadatan dalam hal lain – lain yang nonmanusia. Orang yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun dalam hutan rimba yang penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota yang penuh bangunan tapi tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan kesesakan seperti yang dialami oleh penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan di atas.
2.      Kesesakan sifatnya subjektif. Orang yang sudah biasa naik bus yang padat penumpangnya mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi tapi crowding rendah). Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong (density rendah tapi crowding tinggi).

Karena adanya perbedaan antara kepadatan dan kesesakan itu, beberapa pakar juga membedakannya secara teoritis. Stokols (1972,1978) (dalam Holahan, 1982:198) menyatakan bahwa density adalah kendala keruangan (spatial constraint), sedangkan crowding adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space).

Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah merupakan syarat yang mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar malam atau pertunjukan bioskop di lapangan atau tempat – tempat keramaian lainnya, orang justru mencari kepadatan di tengah keramaian itu, walaupun kepadatannya tinggi orang tidak merasa sesak. Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Misalnya jika orang harus berkompetisi untuk mendapatkan tempat duduk di bus atau antri untuk berjabatan tangan dengan pengantin atau tidak bisa berenang dengan leluasa di kolam renang umum yang penuh dengan pengunjung.

Di lain pihak, karena hubungan yang sangat erat antara kepadatan dan kesesakan, ada pakar – pakar lain yang tidak setuju dengan pembedaan antara kedua hal itu. Jonathan Freedman (1975) (dalam Holahan, 1982:199), misalnya, mengatakan bahwa kesesakan sebagai reaksi subjektif sulit diukur. Ini adalah pandangan behavioristik yang cenderung mengabaikan segala proses internal, termasuk persepsi dan perasaan. Selain itu menurut Freedman, konotasi kesesakan selalu negatif (tidak ada orang yang merasa senang dalam keadaan sesak), sedangkan kalau kita samakan saja kesesakan dengan kepadatan maka kita bisa mencapai objektivitas yang lebih murni dan sekaligus bisa diterangkan mengapa kepadatan juga bisa menimbulkan dampak positif (seperti dalam kasus tempat keramaian di atas).

Pandangan Freedman ini tidak banyak disetujui oleh para pakar lainnya. Secara umum lebih banyak yang setuju dengan Stokols karena memang kedua konsep itu merupakan dua hal yang berbeda dalam kenyataannya. Salah satu penelitian yang mendukung Stokols adalah yang dilakukan oleh A. I. Schffenbauer dkk. (1977). Dalam eksperimennya, ia membuktikan bahwa ruangan dengan banyak sinar menimbulkan kesan kurang sesak, tapi tidak menambah kesan luas sehingga kalau di isi oleh orang banyak tetap saja ada kesan sempit. Sebaliknya, gedung – gedung berlantai banyak memberikan kesan luas (banyak ruangan), tetapi tidak mengurangi kesan sesak karena banyaknya penghuni di gedung itu. Kesimpulannya, antara kepadatan dan kesesakan tidak berkorelasi.

Penelitian – penelitian lain membuktikan bahwa karena sifatnya yang subjektif maka ada beberapa jenis kepadatan pada manusia.Loo (1973), Mc Grew (1970), dan Saegert (1973, 1974) (dalam Holahan, 1982:200) mengemukakan bahwa pada manusia terdapat kepadatan sosial disamping kepadatan ruangan. Di sebuah ruangan pertemuan yang padat dengan pengunjung, misalnya kepadatan itu bisa disebabkan persepsi bahwa ruangannya memang terlalu sempit untuk sekian banyak pengunjung (kepadatan ruang), tetapi bisa juga karena persepsi bahwa jumlah undangannya terlalu banyak untuk ruangan itu (kepadatan sosial). Reaksi orang terhadap kedua jenis kepadatan itu bisa berbeda. Dalam hal kepadatan ruang, reaksinya mungkin keluar dari ruangan dan mencari tempat lain disekitar ruangan yang masih agak lega sedangkan dalam halkepadatan sosial, mungkin orang akan pulang saja karena merasa bahwa jika ia tidak hadir dalam pertemuan itu tuan rumah juga tidak akan mencari – carinya.

Peneliti – peneliti lain seperti Carey (1972) dan Carson (1964) (dalam Holahan, 1982:200) menemukan bahwa manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (inside density) dan diluar rumahnya (outside density). Dengan mengkombinasikan dua jenis kepadatan ini diperoleh 4 jenis kepadatan, yaitu :
a.       Kepadatan pedesaan dimana kepadatan di dalam rumah tinggi tetapi kepadatan di luar rendah;
b.      Kepadatan pinggiran kota (suburb) dimana kepadatan di dalam maupun di luar rumah rendah;
c.       Kepadatan pemukiman kumuh di kota dimana kepadatan di luar maupun di dalam tinggi;
d.      Kepadatan pemukiman mewah di kota besar dimana kepadatan di dalam rumah rendah, tetapi kepadatan di luar rumah tinggi.

1.      Penelitian pada Hewan
Penelitian tentang kesesakan dan kepadatan pada mulanya banyak dilakukan pada hewan. Alasan pertama adalah masalah etis. Manusia secara etis tidak bisa secara sengaja disuruh berlama – lama berada dalam situasi yang padat. Selain itu siklus hidup hewan percobaan (seperti tikus) lebih pendek daripada manusia sehingga bisa diamati pengaruh kepadatan itu terhadap misalnya proses reproduksi atau perilaku pengasuhan terhadap anak – anak binatang itu. Akhirnya alasan yang juga penting adalah adanya kemudahan untuk meneliti proses fisiologik dan tingkah laku pada hewan daripada manusia yang sudah banyak dipengaruhi oleh fakto – faktor sosial dan budaya.
            Salah satu penelitian pada hewan di alam kehidupannya yang asli dilakukan oleh Dubos (1965) (dalam Fisher, 1984:193). Dubos mengamati binatang lemming (sejenis tikus) Norwegia. Jika kepadatan mereka sudah melebihi jumlah sumber makanan yang tersedia, binatang – binatang ini berombongan bermigrasi ke pantai dan sebagian menceburkan diri ke laut dan mati tenggelam. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada yang masih hidup untuk meneruskan kehidupan mereka dalam jumlah kepadatan yang seimbang dengan luas wilayah pencarian makanan mereka. Menurut Dubos kepadatan lemming yang berlebihan ini elah menimbulkan kerusakan fungsi otak pada hewan – hewan itu.
            Akan tetapi peneliti lain, John Calhoun (1962-1971) (dalam Fisher, 1984:196-197 dan Holahan (1982:206-207) menyatakan bahwa hewan itu mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan hewan lain sampai batas jumlah tertentu. Jika jumlah itu melebihi batas optimal maka hewan – hewan itu menjadi agresif. Jika jumlah itu melebihi dua kali lipat dari jumlah yang optimal, reaksi mereka menjadi bodoh (seperti mahluk debil atau dungu)
            Kesimpulan Calhoun ini diambil dari eksperimennya terhadap tikus – tikus Norwegia (bukan lwmming) yang dilakukannya dalam sebuah laboratorium. Jalannya eksperimen itu adalah sebagai berikut. Tikus – tius Norwegia dimasukkan kedalam sebuah kandang dengan bentuk tertentu dan luas tertentu. Tikus – tikus itu dibiarkan berkembang biak sampai jumlahnya 80 ekor. Ketika jumlahnya mencapai 80 ekor, populasinya dijaga agar tertap dengan cara mengeluarkan anak – anak tikus yang baru lahir. Karena bentuk kandang yang demikian, tikus – tikus ini berkumpul di ruangan 2 dan 3 saja yang mempunyai dua jalan keluar-masuk, sedangkan ruang 1 da 4 hanya ada satu jalan keluar-masuk sehingga tidak diisi oleh tikus-tikus itu. Akibatnya, kepadatan tikus di kedua ruangan itu menjadi tinggi dan timbullah apa yang disebut oleh Calhoun behaviorial sink (tingkah laku yang aneh) dari tikus-tikus itu.
            Keanehan tingkah laku itu nampak pda tikus-tikus betina yang tidak bisa mengandung, atau membuat sarangnya secara acak-acakan, mati sebelum melahirkan, dan tidak bisa menjaga anak-anaknya sehingga 96% anak tikus mati sebelum disapih. Pada tikus-tikus jantan keanehan tingkah lak itu nampak berupa hubungan kelamin dengan betina yang sedang tidak bernafsu atau dengan betina yang masih dibawah umur atau dengan sesama jantan. Juga nampak tingkah laku agresif yang berlebuhan, kanibalisme, menyendiri,
2.      Dampak pada manusia
Sejalan dengan hasil-hasil penelitian pada hewan, berbagai penelitian pada manusia menunjukkan bahwa manusia pun menampakkan tingkah laku yang menyerupai behaviorial sink sebagai akibat dari kepadatan atau kesesakan. Holahan (1982:208-214) antara lain mencatat beberapa gejala berikut.
a.       Dampak pada penyakit dan patologi sosial
1.      Reaksi fisiologik, misalnya meningkatnya tekanan darah
2.      Penyakit fisik, seperti psikosomatik (gangguan pencernaan, gatal-gatal, dan sebagainya yang tidak disebabkan oleh kelainan fisik) dan meningkatnya angka kematian
3.      Patologi sosial, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan kenakalan remaja
b.      Dampak pada tingkah laku sosial
1.      Agresi
2.      Menarik diri dari lingkungan sosial
3.      Berkurangnya tingkah laku menolong
4.      Kecendrungan untuk lebih banyak melihat sisi jelek dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lain itu di tempat yang padat atau sesak
c.       Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1.      Hasil usaha atau prestasi kerja menurun
2.      Suasana hati (mood) cenderung lebih murung)

2.5 Peta Mental
Definisi dan teori tentang  peta mental ini pertama kali dirilis oleh seorang pakar geografi bernama Roger Downs yang bekerja sama dengan seorang pakar psikologi bernama David Stea pada tahun 1973. Mereka mendefinisikan peta metal sebagai berikut . Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan , mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan , memanggil , serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relative dan tanda-tanda tentang lingkungan geografi kita (Holahan, 1982:56)
Peta mental adalah proses aktif. Bukan hanya indera penglihatan yang berfungsi, melainkan juga indera-inder lain, misalnya bangunan sekolah dekat tempat sampah yang bau dan jalan tol yang bising. Bahkan tuna netra bisa membuat peta mental tanpa menggunakan indera penglihatan sama sekali. Hasil rekaman dari indera-indera itu kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah gambar peta dalam ingatan kita. Makin banyak masukan dan makin lama kita mengenal suatu daerah makan makin terinci dan baik peta mental kita.
Lynch (1960) (dalam Holahan, 1982:60) mengemukakan bagaimana cara pengukuran peta mental yang terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut :
1.      Tanda-tanda yang mencolok (landmarks), yaitu bangunan atau benda-benda alam yang berbeda dari sekelilingnya da terlihat dari jauh, missal gedung , patung, tugu , jembatan , jalan laying, pohon , penunjuk jalan , sungai, dan lampu lalu lintas.
2.      Jalur-jalur jalan (paths) yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lainya.
3.      Titik temu antarjalur jalan (nodes), misalnya perempatan dan pertigaan.
4.      Batas-batas wilayah (edges) yang membedahkan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainya, misalnya daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang-gerbang tol menuju tempat parker, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian dari wilayah pemukiman.
5.      Distrik, yaitu wilayah –wilayah homogen yang berbedah antara wilayah yang satu dengan wilayah – wilayah lain misalnya pusat perdagangan ditandai dengan bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor-kantor kedutaan asing ditandai oleh rumah-rumah besar besar dengan halaman-halaman luas serta jalan-jalan lebar bertipe boulevard (dengan taman dan pohon-pohon dijalur tengah)
Menurut Lynch, makin nyata unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan , misalnya lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental. Artinya orang akan lebih cepat mengenal lingkungan gografis yang ada. Itulah sebabnya orang tidak mudah tersesat di kota-kota super metropolitan seperti London , New York, atau Tokyo karena kota-kota itu dibuat dengan perencanaan kota yang sangat baik, distrik-distrik teratur dan tertentu tempatnya, batas-batas wilayah jelas, jalur-jalur jala dan persimpangan-persimpangan lurus-lurus serta bernomor urut, dan lardmarks mudah ditemui dimana-mana. Sistem angkutan umum seperti kereta bawah tanah dan bus kota dibuat sedemikian jelas sehingga setiap orang bisa membacadapat mengikuti dengan mudah. Lain halnya seprti kota yang tumbuhnya tidak terencana seperti kebanyakan kota di Indonesia. Di Jakarta misalnya, dulu nama-nama jalan dikelompokan menurut wilayahnya. Nama-nama gunung di daerah Pasar Rumput, nama-nama pohon didaerah Menteng , dan nama-nama sungai di Kebayoran. Namun setelah banyak nama diganti dengan nama-nama pahlawan , system itu hilang dan makin sukarlah kita menemukan suatu lokasi di Jakarta.
Fungsi peta mental selain untuk mengatasi masalah lokasi dan jarak , juga bisa untuk tujuan komunikasi , bahkan untuk menunjukan identitas diri. Orang-orang dari luar Jakarta yang pernah ke Jakarta, misalnya akan senang sekali kalau bisa saling bercerita tentang Dunia Fantasi, TMNI atau Tugu Monas. Orang-orang Surabaya mungkin akan bangga dengan Tugu Pahlawanya , sebagaimna orang Bukit Tinggi bangga dengan Jam Gadangnya, London terkenal dengann Jembatan Londonya atau sungai Thamesnya. New York dengan patung Libertinya, Paris dengan Menara Eiffelnya, dan sebagainya. Masyarakat primitifpun mengidentifikasi dirinya dengan tanda-tanda alam. Suku-suku yang tinggal di gunung mengidentifikasikan dirinya sebagai keturunan dewa gunung , sedangkan orang-orang di pantai atau tepi danau memuja dewa laut atau dewa air.
Di atas sudah disebutkan bahwa peta mental orang bisa berbeda-beda. Faktor yang membedahkan peta mental adalah (Holahan,1982:69-72) sebagai berikut.
1.      Gaya hidup (Milgram 1976, 1977). Gaya hidup seorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental karena gaya hidup ini berpengaruh terhadap tempat-tempat yang diketahui atau didatangi. Seorang yang selalu naik mobil pribadi tidak akan tau rute bus kota.
2.      Keakraban dengan kondisi lingkungan (Evans, 1980). Makin seseorang mengenal lingkungan geografisnya, makin luas, makin kaya, dan makin terinci peta mentalnya.
3.      Keakraban Sosial (Lee, 1980). Makin banyak teman bergaul makin luas wilayah yang dukunjungi, da makin banyak ia tahu tentang wilayah-wilayah lain maka makin baik pula peta mentalnya.
4.      Kelas Sosial
a.       Makin terbatas kemampuan seseorang , makin terbatas daya geraknya dan makin sempit peta mentalnya (Michelson, 1973)
b.      Makin tinggi kelas social seseorang , teman bergaulnya ada diseluh kota, bahkan luar kota atau luar negeri, sedangkan makin rendah kelas sosialnya, lingkup pergaulanya makin terbatas pada lingkungan tetanganya saja. Ini menyebabkan juga perbedaan dalam peta mental (Orleans, 1973)
5.      Perbedaan Seksual
Laki-laki lebih baik dan lebih terperinci peta mentalnya dari pada perempuan kerena kesempatab pergaulanya dan ruang geraknya juga lebih luas (Appleyard, 1970)
Selain itu, kualitas peta mental juga ditentukan oleh keadaan objek-objek tertentu dalam lingkungan geografis itu sendiri. Menurut Milgram (1972) (dalam Holahan, 1982:72), suatu objek peta mental bisa dikenal atau kurang dikenal bergantung pada formula berikut.
R = f (C x D)
R = Recognisability atau keterkenalan suatu objek di lingkungan
f = fungsi
C = Centrality atau berapa jauh posisi objek itu dari pusat arus lalu lintas penduduk
D = Diference atau berapa jauh kadar perbedaan secara arsiktektural atau secara social objek-objek lainya.
Dengan menggunakan formula diatas , dapatlah diterangkan mengapa China Town di San Fransisco cukup terkenal, sebaliknya China Town di New York Kurang dikenal dibandingkan Rockefeller Building di kota yang sama.

2.6    Stress
Setiap individu mempersepsikan rangsang dari lingkungan, akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, rangsang itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan homeostatis. Kemungkinan kedua, rangsang itu dipersepsikan di luar ambang toleransi yang menimbulkan stress pada individu.
Stress adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan, untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu melakukan tingkah laku penyesuaian. Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada keadaan stress lagi, bahkan mungkin stress itu bertambah besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tau harus berbuat apa dalam menghadapi stress, akan timbul  reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis.
Salah satu contoh dari kepanikan massal yang ditimbulkan oleh masalah lingkungan, antara lain kasus love canal (kolata, 1980;1239). Love canal adalah sebuah daerah pemukiman di daerah air terjun niagara, amerika serikat. Antara tahun 1947-1952 tempat itu adalah tempat pembuangan sisa-sisa bahan kimia dari perusahaan hooker chemicals and plastic coeporation. Prosedur pembuangan sampah kimia sudah dilakukan menurut ketentuan yang berlaku pada saat itu sehingga dinilai tidak akan menimbulkan gangguan atau bahaya.
Pada tahun 1953, daerah bekas tempat pembuangan sampah itu dijual kepada niagara school board yang kemudian membangun sekolah dan pemukiman ditempat itu. Akan tetapi, pada awal tahun’70-an mulai dicurigai adanya kebocoran sampah kimia tadi yang menggangukesehatan pelajar maupun penduduk. Sejumlah pelajar dan penduduk mengeluh agtal-gatal, jumlah penderita kanker dilaporkan meningkat, dan jumlah keguguran serta bayi lahir cacat juga bertambah.
Keluahn-keluhan ini sebenarnya sulit dibuktikan karena catatan resmi tidak mendukungnya, tetapi mayarakat merasa perlu untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, dibentuklah sebuah tim oleh sebuah badan bernama environmental protection agency (EPA) untuk mengadakan penelitian dampak pencemaran lingkungan di love canal itu terhadap kesehatan penduduknya. Pada awal tahun 1980 hasil penelitian membuktikan bahwa pencemaran  bahan kimia yang terjadi bisa mempengaruhi kromososm manusia sehingga dapat menimbulkan gejala-gejala kesehatan.
Seperti reaksi terhadap penemuan EPA itu masyarakat memprotes dan menuntu pemerintah agar memindahkan pemukiman  mereka. Pemerintah pun, atas instruksi Presiden Carter, pada bulan mei 1980 melaksanakan evakuasi terhadap sekitar 2500 penduduk yang menelan biayaantara $3-5juta. Pengungsian ini ternyata tidak meredakan stress penduduk yang sudah terllanjur panik. Pusat kesehatan masyarakat setempat telah berusaha untuk menempatkan petugas konseling serta menyebarkan buku-buku dan selebaran –selebaran yang menerangkan bagaimana caranya mengatasi akibat yang tidak dikehendaki dari keracunan itu, tetapi hasilnya hampir tidak ada. Jumlah yang amu datang untuk konseling hanya kurang dari 100 orang (Holden,1980;1242).
Stress yang berkelanjutan ini cukup mengeharankan karena ternyata setelah departemen kesehatan dan pelayanan manusia (department of health and human services) menguji hasil penelitian EPA, terbukti bahwa hasil penelitian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena EPA membuat penelitian itu bukan untuk tujuan mencari pembuktian ilmiah, melainkan sekadar mencari pembuktian hukum untuk menyeret perusahaan Hooker ke pengadilan dengan maksud meminta ganti rugi. Tidak diduga sama sekali bahw aakibatnya adalah kepanikan massal yang berkepanjangan. Seorang petugas palnang merah setempat bahkan menyatakan stress yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau gunung meletus dapat lebih mudah diatasi karena cepat berlalu daripada stress yang terjadi di love canal yang kronis walaupun bahayanya tidak nyata.
BAB  III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.      Dari uraian diatas nampak bahwa privacy ini merupakan inti dari personal space. Privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space adalah perwujudan privacy itu dalam bentuk ruang (space).
2.      Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar
3.      Kesesakan (crowding) dan kepadatan (density) memiliki keterkaitan satu sama lain, dimana makin banyak jumlah manusia (kesesakan), makin padatlah keadaanya dan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan adalah kepadatan.
4.      Stress adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan, untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu melakukan tingkah laku penyesuaian. Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada keadaan stress lagi, bahkan mungkin stress itu bertambah besar.
3.2 Saran
Kajian-kajian tentang persepsi Lingkungan masih sangat perlu untuk ditingkatkan, karena dengan mempelajari gejalah-gejalah persepsi pada individu kita dapat memahami pola pikir sesorang kaitanya dengan kesehatan dan lingkungan.




1 komentar: