BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang
dilahirkan paling sempurna. Manusia memiliki kemampuan kognitif untuk memproses
informasi yang diperoleh dari lingkungan di sekelilingnya melalui indera yang
dimilikinya, membuat persepsi terhadap apa-apa yang dilihat atau dirabanya,
serta berfikir untuk memutuskan aksi apa yang hendak dilakukan untuk mengatasi
keadaan yang dihadapinya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif
pada manusia meliputi tingkat intelejensi,kondisi fisik, serta kecepatan sistem
pemrosesan informasi pada manusia. Bila kecepatan sistem pemrosesan informasi
terganggu, maka akan berpengaruh pada reaksi manusia dalam mengatasi berbagai
kondisi yang dihadapi.
Keterbatasan kognitif terjadi apabila terdapat masalah atau gangguan pada
kemampuan kognitif. Masalah yang dialami bisa terjadi sejak lahir, atau terjadi
perubahan pada tubuh manusia seperti terluka, terserang penyakit, mengalami
kecelakaan yang dapat menyebabkan kerusakan salah satu indera, fisik atau juga
mental. Akibat dari adanya keterbatasan kognitif ini, manusia menjadi tidak
mampu untuk memproses informasi dengan sempurna. Dengan ketidaksempurnaan ini
maka manusia yang memiliki keterbatasan kognitif mengalami masalah dalam
meraba, mempelajari atau berfikir untuk bereaksi terhadap keadaan yang
dihadapinya.
Persepsi dalam arti sempit melibatkan pengalaman kita tapi secara psikis
pengertian itu tidaklah tepat. Tetapi lebih tepatnya persepsi merupakan proses
yang menggabungkan dan mengorganisir data-data indera kita ( penginderaan)
untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat menyadari di sekeliling
kita, termasuk sadar dengan diri kita sendiri. Dan didalam mempersepsi keadaan
sekitar maka kita harus melibatkan indra kita maka akan lahir sebuah argumen yang
berasal dari informasi yang dikumpulkan dan diterima oleh alat reseptor
sensorik kita sehingga kita dapat menggabungkan atau mengelompokkan data yang
telah kita terima sebelumnya melalui pengalaman awal kita
Salah satu hal yang dipersepsi manusia tentang lingkunganya adalah ruang
(space) di sekitarnya. Pengertian ruang itu termasuk persepsi tentang jarak
jauh-dekat, luas-sempit , longgar-sesak, kurang nyaman- nyaman . Untuk lebih
memahami tentang persepsi manusia terhadap lingkungan maka dalam makalah ini
akan di jelaskan gejalah-gejalah persepsi lingkungan secara lebih detail.
1.2
Rumusan
Masalah
- Apa yang dimaksud dengan Personal Space ?
- Apa yang dimaksud dengan Privacy dan jenis-jenisnya ?
- Bagaimana kaitanya Privacy dan Personal Space ?
- Bagaimana hubungan Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density) ?
- Apa yang dimaksud dengan Peta Mental ?
- Apa yang dimaksud dengan Stress ?
1.3
Tujuan
Menambah pengetahuan tentang gejala-gejala persepsi
individu terhadap lingkungan sehingga dapat memahami bagaimana respons individu
terhadap persepsi tersebut.
1.4
Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Personal
Space
Manusia mempersepsikan ruang di sekitarnya lengkap
dengan isinya, tidak berdiri sendiri. Jika isi ruang itu adalah manusia lain
maka orang langsung akan membuat suatu jarak tertentu antara dirinya sendiri
dengan orang lain itu dan jarak itu sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas
hubungan dengan orang itu.
Ungkapan dalam kalimat sehari-hari dapat menunjukkan
bagaimana sebenarnya kualitas hubungan antarmanusia yang terjadi. Misalnya
seorang karyawan mengatakan kepada rekannya “ Bapak Direktur kita yang baru,
masih termasuk keluarga dekat dengan saya. “ kalimat ini berarti bahwa
sekalipun di kantor karyawan itu harus menjaga jarak antara dirinya sendiri
dengan Bapak Direktur, tetapi di rumah ia lebih bebas ngobrol sambil berposisi
berdekatan dengan Bapak Direktur itu. Atau jika seorang suami mengatakan pada
istrinya, “ aku akhir-akhir ini merasa makin jauh dari kamu.” Itu berarti bahwa
ia merasa bahwa istrinya tidak mau didekatinya lagi secara fisik sampai batas
tertentu. Padahal sebelumnya sang suami tidak ada masalah dalam hal kedekatan
fisik dengan istrinya.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kehidupan
sehari-hari jarak yang diperkenankan oleh seseorang terhadap orang (orang-orang)
lainnya bergantung sekali pada bagaimana sikap dan pandangan orang yang
bersangkutan terhadap orang(orang-orang) lainnya itu. Makin merasa akrab dia,
makin dekatlah jarak yang diperkenankannya. Sebaliknya, lawan bicaranya itu
juga bisa memperkirakan bagaimana sikap dan pandangan orang pertama itu menjaga
jarak. Kalau reaksinya ketika didekati justru ia makin menjauhkan diri, itu
berarti ia kurang suka kepada lawan bicaranya. Akan tetapi, kalau reaksi waktu
didekati malah makin memperdekat jarak, artinya orang itu bersedia untuk
berhubugan akrab. Dengan kata lain, dalam psikologi lingkungan, jarak
antarindividu ini adalah juga sarana komunikasi.
Sebagai sarana komunikasi antarindividu inilah
persepsi ruang seseorang dinamakan personal space.J.D. Fiser dkk. (1984:149)
mendefinisikan personal space sebagai suatu batas maya yang mengelilingi diri
kita yang tidak boleh dilalui oleh orang lain.
Definisi itu ternyata sangat mirip dengan yang
diajukan oleh Holahan (1982:275). Jadi personal space itu seolah-olah merupakan
sebuah balon atau tabung yang menyelubungi diri kita dan tabung itu membesar
dan mengecil bergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Menurut Hall
(1963) (dalam Holahan, 1982:275 dan Fisher, 1984:153) ada 4 macam jarak
personal space, yaitu :
1. Jarak
intim (0-18 inci / 0-0,5 m), yaitu jarak untuk berhubungan seks, untuk saling
merangkul antar kekasih, sahabat atau anggota keluarga, atau untuk melakukan
olahraga kontak fisik seperti gulat dan tinju.
2. Jarak
personal (18 inci – 4 kaki / 0,5 – 1,3 m), yaitu jarak untuk percakapan antara
2 sahabat antar orang yang sudah saling akrab.
3. Jarak
social (4 -12 kaki / 1,3 – 4 m), yaitu untuk hubungan yang bersifat formal
seperti bisnis, dan sebagainya.
4. Jarak
public (12 – 25 kaki / 4 – 8,3 m), yaitu untuk hubungan yang lebih formal lagi
seperti penceramah atau actor dengan hadirinnya.
Selanjutnya Hall mengatakan bahwa fungsi personal
space ini sebagai alat komunikasi bisa diteliti secara khusus. Ilmu untuk
meneliti personal space ini dinamakannya proxemics (proxy = jarak), yaitu ilmu
tentang space sebagai media hubungan antar manusia (Holahan, 1982:274). Salah
satu metode yang dipakai dalam proxemics adalah prosedur stop-jarak, yaitu
orang percobaan (o.p) diminta untuk duduk atau berdiri disuatu tempat tertentu
dan orang lain diminta untuk mendekatinya secara bertahap (makin lama makin
dekat). Jika o.p sudah merasa terganggu atau kurang senang maka ia harus
menyuruh orang lain itu berhenti dan pemimpin percobaan (p.p) akan mencatat
jarak antara o.p. dan orang lain itu saat dia dihentikan.jarak inilah yang
menunjukkan personal space dari o.p. terhadap orang yang bersangkutan (Holahan,
1982:282). Sekali lagi, ternyata jarak itu bervariasi bergantung siapa yang
mendekati o.p dan dalam keadaan apa o.p. didekati serta siapakah o.p. itu
sendiri.
Heshka dan Nelson (1972) (dalam Fisher, 1984:155)
melaporkan bahwa salah satu penentu perbedaan jarak dalam personal personal
space yang bergantung pada diri individu itu sendiri adalah jenis kelamin dari
individu yang bersangkutan. Wanita maupun pria sama-sama membuat jarak dengan
lawan bicara yang berlainan jenis kelaminnya. Sebaliknya dalam hal lawan
bicaranya sesama jenis, wanita akan mengurangi jarak personal spacenya jika
lawan bicaranya itu akrab. Semakin akrab semakin kecil jarak personal spacenya.
Akan tetapi, pada laki-laki keakraban antarsesama jenis tidak berpengaruh pada
personal space. Dengan kata lain, pada laki-laki jarak itu akan sama saja,
terlepas daripada kadar keakraban hubungan antarorang yang bersangkutan.
Factor umur juga berpengaruh pada personal space
seseorang. Pada umumnya, makin tambah umur seseorang, makin besar jarak
personal space yang akan di kenakannya pada orang-orang tertentu. Pada remaja,
misalnya , personal space terhadap lawan jenis akan lebih besar daripada
anak-anak. Sebaliknya, anak-anak akan membuat jarak yang lebih besar dengan
orang yang tidak dikenal daripada remaja atau orang dewasa.
Pada usia berapakah personal space ini mulai timbul
pada diri seseorang ? mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Duke dan Wilson
(1973) serta Ebert dan Lepper (1975) (dalam Fisher, 1984:159) menyatakan
berdasarkan penelitian-penelitian mereka bahwa personal space itu mulai timbul
pada usia 45 – 63 bulan. Akan tetapi, Altman (1975) (dalam Fisher, 1984:159) menyatakan
bahwa personal space itu baru tumbuh pada usia remaja.
Selanjutnya dibuktikan juga bahwa tipe kepribadian
itu sendiri berpengaruh pada personal space seseorang. Doke dan Nowicki (1971)
(dalam Filsher 1984:160) menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian
eksternal (merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan oleh faktor-faktor
dirinya sendiri) memerlukan jarak personal space yang lebih besar dibandingkan
orang bertie internal (merasa bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh
dirinya sendiri).
Dalam penelitian lain, Cook (1970) (dalam Fisher,
1984:160) juga mengemukakan bahwa orang bertipe ekstrovert (lebih terbuka
terhadap orang lain) memerlukan jarak personal space yang lebih kecil daripada
tipe introvert (lebih berorientasi pada dirinya sendiri).
Selanjutnya Holahan (1982:279) melaporkan bahwa
latar belakang suku bangsa dan kebudayaan seseorang juga mempengaruhi personal
spacenya. Misalnya, orang Jerman lebih formal dalam berkomunikasi dengan orang
lain dan karenanya mereka lebih menjaga jarak. Jika personal space mereka
terganggu, sikapmereka menjadi ofensif. Di pihak lain, orang Inggris juga
menjaga personal space dalam jarak yang jauh, tetapi lebih disebabkan oleh
keinginan mereka untuk tidak mengganggu personal space orang lain. Mereka
berbicara berbisik-bisik dengan temannya jika ada orang ketiga yang ingin
mereka jaga personal spacenya. Akan tetapi, perbuatan ini oleh orang Amerika
justru dianggap tidak menyenangkan karena bisa disangka sedang membicarakan
suatu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang ketiga tersebut.
Orang Arab lain lagi, dalam berkomunikasi mereka
harus sangat berdekatan. Dengan sesame jenis, kaum lelakinya saling merangkul
dan mencium, bahkan mencium bau badan lawan bicaranya merupakan bagian yang
diharuskan dalam berkomunikasi. Akhirnya variasi dalam personal space ini
ternyata dipengaruhi juga oleh keadaan lingkugan dimana orang-orang yang sedang
berinteraksi itu berada. Dalam ruang yang sempit diperlukan jarak lebih lebar
daripada ruang yang luas (Daves dan Swaffer, 1971). Penyekat ruangan bisa
mengurangi perasaan invasi terhadap personal space (Baum dkk., 1974). Dalam
keadaan gelap orang cenderung untuk saling menyentuh (Gergen dkk., 1973) (dalam
Fisher, 1984:161)
2.2
Privacy
Di atas telah dijelaskan bahwa orang Jerman
cenderung untuk menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Personal space yang besar
ini ternyata sesuai pula dengan kecenderungan mereka untukmembuat pintu-pintu
yang tebal dan ruangan-ruangan kedap suara. Maksudnya agar mereka bisa
mengurangi gangguan dari luar terhadap dirinya sampai ke tingkat yang paling
minimal. Dalam psikilogi lingkungan, gejala ini dinamakan privacy. Jadi privacy
adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu
kesendiriannya.
Jika kita meminjam istilah psikoanalisis, privacy
berarti dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak
dikehendakinya. Holahan (1982:237) pernah membuat alat untuk mengukur kadar dan
mengetahui jenis-jenis privacy (privacy preference scale) dan ia mendapatkan
bahwa ada 6 jenis dalam privacy yang terbagi dalam dua golongan.
1. Golongan
pertama adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Golongan ini
terwujud dalam tingkah laku menarik diri (withdrawal) yang terdiri atas 3
jenis.
a. Keinginan
untuk menyendiri (solitude).
b. Keinginan
untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu
lintas (seclusion).
c. Keinginan
untuk intim (intimacy) dengan orang-orang (misalnya dengan keluarga) atau orang
tertentu saja (misalnya dengan pacar),tetapi juah dari semua orang lainnya.
2. Golongan
kedua adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud
dalam tingkah laku hanya member informasi yang dianggap perlu (control of
information). Tiga jenis privacy yang termasuk dalam golongan ini adalah :
a. Keinginan
untuk merahasiakan jati diri (anonimity)
b. Keinginan
untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve); dan
c. Keinginan
untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Khusus golongan kedua dari jenis-jenis privacy ini
menunjukkan adanya kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu tentang diri
sendiri. Namun antara privacy dan kerahasiaan (secrecy) ada perbedaan yang
hakiki. Menurut Warren dan Laslett (1977) (dalam Holahan, 1982:239), perbedaan
antara kedua konsep itu adalah privacy merupakan konsensus masyarakat dan
merupakan hak individu yang diakui oleh masyarakat, sedangkan secrecy lebih
mempunyai konotasi negative, tidak disukai masyarakat dan tidak ada kaitannya
dengan hak individu.
Dari uraian diatas nampak bahwa privacy ini
merupakan inti dari personal space. Menurut Holahan (1982:275), privacy adalah
hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap
diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space adalah perwujudan
privacy itu dalam bentuk ruang (space). Dengan demikian, privacy ini juga
mempunyai fungsi dan merupakan bagian dari komunikasi. Misalnya, Holahan
(1982:243) mengatakan bahwa adanya kemungkinan untuk sewaktu-waktumengundurkan
diri atau menghindar dariseseorang yang tidak disuakai akan menyebabkan
hubungan dengan orang yang tidak disukai itu bisa lebih bertahan daripada jika
kemungkinan untuk menghindar itu sama sekali tidak ada.
Selain itu, privacy juga berfungsi mengembangkan
identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika
privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses
ketelanjangan social, yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasiadiri sendiri
sehingga timbul rasa malu menghadapi orang lain. Selain itu, juga terjadi
proses deindividuasi dimana orang merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai
lagi karena itu ia pun tidak peduli pada harga diri sendiri maupun harga diri
orang lain. Gejala seperti ini terjadi misalnya pada orang (misalnya artis)yang
kisah-kisah pribadinya digosipkan di media massa (gangguan terhadap akses
informasi pribadi) atau pasien-pasien rumah sakit jiwa yang terus-menerus
diobservasi selama 24 jam, diperiksa secara fisik secara rutin dan WC-WC
sengaja dibuat tak berpintu (gangguan terhadap akses fisik).
2.3 Teritoriality
Teritorialitas merupakan tempat yang
nyata, relatif tetap, dan tidak berpindah mengikuti gerakan individu yang
bersangkutan. Teritori berarti wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah
wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Contohnya, jika di suatu
tempat parkir sebuah kantor sudah terpampang papan bertuliskan “Direktur” di
salah satu tempat parkir, maka orang lain diharapkan untuk tidak memarkir
kendaraannya di tempat itu karena tempat itu sudah merupakan teritori atau
wilayah parkir Bapak Direktur.
Dari uraian di atas dapat
didefinisikan: Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada
hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas
sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup
personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar (Holahan, 1982:235)
Fisher (1984:176) menyatakan bahwa
kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi dari orang
dari atau orang-orang yang bersangkutan sendiri. Persepsi itu ada yang aktual
(teritorialitas terhadap kamar tidur, ruang kantor, atau batas wilayah negara),
tetapi ada juga yang hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol
suatu tempat (teritorialitas terhadap bangku kuliah atau suatu tempat di bawah
pohon rindang). Contoh masalahnya: jika seorang penghuni liar di perkampungan
kumuh di sebuah kota besar diharuskan meninggalkan gubuknya, ia tidak akan mau
karena ia merasa gubuknya itu sudah menjadi teritorinya karena ia sudah
menghuni tempat itu bertahun-tahun tanpa ada yang mengusiknya. Padahal menurut
ketentuan Dinas Tata Kota, kepemilikan harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen
tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di sinilah akan timbul konflik
teritori antar pihak yang berselisih.
Konflik-konflik teritorialitas
terjadi karena beberapa tingkah laku
manusia, diantaranya: menyatakan kepada orang lain bahwa suatu tempat memang
miliknya. Selanjutnya ia merasa hanya dirinya sendiri saja yang berhak
melakukan sesuatu atas teritori tersebut. Setelah itu ia mengembangkan
pikiran-pikiran tentang teritori. Dan yang terakhir, orang akan mempertahankan
teritorinya tersebut.
Menurut Ley dan Cibriwsky (1976)
(dalam Fisher, 1984:183), kecenderungan agretivitas teritorial pada manusia
lebih besar pada hewan. Kecenderungan itu akan menjadi paling besar pada
situasi-situasi dimana batas-batas teritori tidak jelas atau bisa
dipermasalahkan. Itulah sebabnya perkelahian antar gang anak remaja di
kota-kota besar lebih sering terjadi jika wilayah kekuasaan mereka tidak jelas.
Fungsi teritorialitas pada hewan
menurut Fisher (1984:178) adalah dorongan untuk mempertahankan hidup, contohnya
mendiami tempat hunian, menyimpan makanan di tempat tertentu, mencari makan,
dan melindungi anak-anak hewan dari serangan binatang. Oleh K. Lorenz (1976),
dorongan yang mendasari tingkah laku pada hewan dinamakan naluri teritori
(Fisher, 1984:177). Dengan demikian, teritorialitas pada manusia mempunyai
fungsi lebih tinggi daripada sekedar fungsi survival.
Sebagai media komunikasi, sama
halnya dengan personal space , teritori juga terbagi dalam beberapa golongan.
Penggolongan yang dianjurkan oleh Altman (dalam Fisher, 1984:177) adalah
sebagai berikut:
1. Teritori
primer, yaitu tempat-tempat yang sangat pribadi, sifatnya hanya boleh dimasuki
oleh orang-orang yang sudah sangat akrab hubungannya atau sudah mendapatkan
ijin khusus. Misalnya, rumah dan ruangan kantor.
2. Teritori
sekunder, yaitu tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang sudah
cukup saling mengenal. Misalnya, ruang kelas, kantin khusus di kantor, ruang
latihan untuk team olahraga maupun kesenian.
3. Teritori
publik, yaitu tempat-tempat terbuka untuk umum dan semua orang diperkenankan
untuk berada di tempat itu. Misalnya, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan
ruang sidang pengadilan.
2.4
Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density)
Bentuk lain dari
persepsi terhadap lingkungan adalah kesesakan (crowding). Kalau kita berada
dalam kereta api atau bus yang penuh dengan penumpang, kita merasa sesak karena
didesak – desak orang lain. Demikian juga kalau kita menghadiri resepsi
perkawinan yang dihadiri oleh ribuan undangan dan kita harus antri lama sekali
untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin, kita merasa sesak. Jadi jelaslah
bahwa kesesakan ada hubungannya dengan
kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia dalam suatu batas ruang
tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasmya ruangan, makin
padatlah keadaannya.
Hubungan antara kepadatan dan
kesesakan memiliki dua ciri :
1. Kesesakan
adalah persepsi terhadap kepadatan dalam artian jumlah manusia. Jadi tidak
termasuk di dalamnya kepadatan dalam hal lain – lain yang nonmanusia. Orang
yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun dalam hutan rimba yang
penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota yang penuh bangunan tapi
tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan kesesakan seperti yang dialami
oleh penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan di atas.
2. Kesesakan
sifatnya subjektif. Orang yang sudah biasa naik bus yang padat penumpangnya
mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi tapi crowding rendah).
Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak
dalam bus yang setengah kosong (density rendah tapi crowding tinggi).
Karena adanya
perbedaan antara kepadatan dan kesesakan itu, beberapa pakar juga membedakannya
secara teoritis. Stokols (1972,1978) (dalam Holahan, 1982:198) menyatakan bahwa
density adalah kendala keruangan (spatial constraint), sedangkan crowding
adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space).
Kepadatan memang
merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi
bukanlah merupakan syarat yang mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar malam
atau pertunjukan bioskop di lapangan atau tempat – tempat keramaian lainnya,
orang justru mencari kepadatan di tengah keramaian itu, walaupun kepadatannya
tinggi orang tidak merasa sesak. Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau
hambatan tertentu dalam interaksi sosial atau dalam usaha pencapaian suatu
tujuan. Misalnya jika orang harus berkompetisi untuk mendapatkan tempat duduk
di bus atau antri untuk berjabatan tangan dengan pengantin atau tidak bisa
berenang dengan leluasa di kolam renang umum yang penuh dengan pengunjung.
Di lain pihak,
karena hubungan yang sangat erat antara kepadatan dan kesesakan, ada pakar –
pakar lain yang tidak setuju dengan pembedaan antara kedua hal itu. Jonathan
Freedman (1975) (dalam Holahan, 1982:199), misalnya, mengatakan bahwa kesesakan
sebagai reaksi subjektif sulit diukur. Ini adalah pandangan behavioristik yang
cenderung mengabaikan segala proses internal, termasuk persepsi dan perasaan.
Selain itu menurut Freedman, konotasi kesesakan selalu negatif (tidak ada orang
yang merasa senang dalam keadaan sesak), sedangkan kalau kita samakan saja
kesesakan dengan kepadatan maka kita bisa mencapai objektivitas yang lebih
murni dan sekaligus bisa diterangkan mengapa kepadatan juga bisa menimbulkan
dampak positif (seperti dalam kasus tempat keramaian di atas).
Pandangan
Freedman ini tidak banyak disetujui oleh para pakar lainnya. Secara umum lebih
banyak yang setuju dengan Stokols karena memang kedua konsep itu merupakan dua
hal yang berbeda dalam kenyataannya. Salah satu penelitian yang mendukung
Stokols adalah yang dilakukan oleh A. I. Schffenbauer dkk. (1977). Dalam
eksperimennya, ia membuktikan bahwa ruangan dengan banyak sinar menimbulkan
kesan kurang sesak, tapi tidak menambah kesan luas sehingga kalau di isi oleh
orang banyak tetap saja ada kesan sempit. Sebaliknya, gedung – gedung berlantai
banyak memberikan kesan luas (banyak ruangan), tetapi tidak mengurangi kesan
sesak karena banyaknya penghuni di gedung itu. Kesimpulannya, antara kepadatan
dan kesesakan tidak berkorelasi.
Penelitian –
penelitian lain membuktikan bahwa karena sifatnya yang subjektif maka ada
beberapa jenis kepadatan pada manusia.Loo (1973), Mc Grew (1970), dan Saegert
(1973, 1974) (dalam Holahan, 1982:200) mengemukakan bahwa pada manusia terdapat
kepadatan sosial disamping kepadatan ruangan. Di sebuah ruangan pertemuan yang
padat dengan pengunjung, misalnya kepadatan itu bisa disebabkan persepsi bahwa
ruangannya memang terlalu sempit untuk sekian banyak pengunjung (kepadatan
ruang), tetapi bisa juga karena persepsi bahwa jumlah undangannya terlalu
banyak untuk ruangan itu (kepadatan sosial). Reaksi orang terhadap kedua jenis
kepadatan itu bisa berbeda. Dalam hal kepadatan ruang, reaksinya mungkin keluar
dari ruangan dan mencari tempat lain disekitar ruangan yang masih agak lega
sedangkan dalam halkepadatan sosial, mungkin orang akan pulang saja karena
merasa bahwa jika ia tidak hadir dalam pertemuan itu tuan rumah juga tidak akan
mencari – carinya.
Peneliti –
peneliti lain seperti Carey (1972) dan Carson (1964) (dalam Holahan, 1982:200)
menemukan bahwa manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (inside density)
dan diluar rumahnya (outside density). Dengan mengkombinasikan dua jenis
kepadatan ini diperoleh 4 jenis kepadatan, yaitu :
a. Kepadatan
pedesaan dimana kepadatan di dalam rumah tinggi tetapi kepadatan di luar
rendah;
b. Kepadatan
pinggiran kota (suburb) dimana kepadatan di dalam maupun di luar rumah rendah;
c. Kepadatan
pemukiman kumuh di kota dimana kepadatan di luar maupun di dalam tinggi;
d. Kepadatan
pemukiman mewah di kota besar dimana kepadatan di dalam rumah rendah, tetapi
kepadatan di luar rumah tinggi.
1.
Penelitian
pada Hewan
Penelitian tentang kesesakan dan
kepadatan pada mulanya banyak dilakukan pada hewan. Alasan pertama adalah
masalah etis. Manusia secara etis tidak bisa secara sengaja disuruh berlama –
lama berada dalam situasi yang padat. Selain itu siklus hidup hewan percobaan
(seperti tikus) lebih pendek daripada manusia sehingga bisa diamati pengaruh
kepadatan itu terhadap misalnya proses reproduksi atau perilaku pengasuhan
terhadap anak – anak binatang itu. Akhirnya alasan yang juga penting adalah
adanya kemudahan untuk meneliti proses fisiologik dan tingkah laku pada hewan
daripada manusia yang sudah banyak dipengaruhi oleh fakto – faktor sosial dan
budaya.
Salah satu penelitian pada hewan di
alam kehidupannya yang asli dilakukan oleh Dubos (1965) (dalam Fisher,
1984:193). Dubos mengamati binatang lemming (sejenis tikus) Norwegia. Jika
kepadatan mereka sudah melebihi jumlah sumber makanan yang tersedia, binatang –
binatang ini berombongan bermigrasi ke pantai dan sebagian menceburkan diri ke
laut dan mati tenggelam. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada yang
masih hidup untuk meneruskan kehidupan mereka dalam jumlah kepadatan yang seimbang
dengan luas wilayah pencarian makanan mereka. Menurut Dubos kepadatan lemming
yang berlebihan ini elah menimbulkan kerusakan fungsi otak pada hewan – hewan
itu.
Akan tetapi peneliti
lain, John Calhoun (1962-1971) (dalam Fisher, 1984:196-197 dan Holahan
(1982:206-207) menyatakan bahwa hewan itu mempunyai naluri untuk berinteraksi
dengan hewan lain sampai batas jumlah tertentu. Jika jumlah itu melebihi batas
optimal maka hewan – hewan itu menjadi agresif. Jika jumlah itu melebihi dua
kali lipat dari jumlah yang optimal, reaksi mereka menjadi bodoh (seperti
mahluk debil atau dungu)
Kesimpulan Calhoun ini
diambil dari eksperimennya terhadap tikus – tikus Norwegia (bukan lwmming) yang
dilakukannya dalam sebuah laboratorium. Jalannya eksperimen itu adalah sebagai
berikut. Tikus – tius Norwegia dimasukkan kedalam sebuah kandang dengan bentuk
tertentu dan luas tertentu. Tikus – tikus itu dibiarkan berkembang biak sampai
jumlahnya 80 ekor. Ketika jumlahnya mencapai 80 ekor, populasinya dijaga agar
tertap dengan cara mengeluarkan anak – anak tikus yang baru lahir. Karena
bentuk kandang yang demikian, tikus – tikus ini berkumpul di ruangan 2 dan 3
saja yang mempunyai dua jalan keluar-masuk, sedangkan ruang 1 da 4 hanya ada
satu jalan keluar-masuk sehingga tidak diisi oleh tikus-tikus itu. Akibatnya,
kepadatan tikus di kedua ruangan itu menjadi tinggi dan timbullah apa yang
disebut oleh Calhoun behaviorial sink (tingkah laku yang aneh) dari tikus-tikus
itu.
Keanehan tingkah laku
itu nampak pda tikus-tikus betina yang tidak bisa mengandung, atau membuat
sarangnya secara acak-acakan, mati sebelum melahirkan, dan tidak bisa menjaga
anak-anaknya sehingga 96% anak tikus mati sebelum disapih. Pada tikus-tikus
jantan keanehan tingkah lak itu nampak berupa hubungan kelamin dengan betina
yang sedang tidak bernafsu atau dengan betina yang masih dibawah umur atau
dengan sesama jantan. Juga nampak tingkah laku agresif yang berlebuhan,
kanibalisme, menyendiri,
2.
Dampak
pada manusia
Sejalan
dengan hasil-hasil penelitian pada hewan, berbagai penelitian pada manusia
menunjukkan bahwa manusia pun menampakkan tingkah laku yang menyerupai
behaviorial sink sebagai akibat dari kepadatan atau kesesakan. Holahan
(1982:208-214) antara lain mencatat beberapa gejala berikut.
a. Dampak
pada penyakit dan patologi sosial
1. Reaksi
fisiologik, misalnya meningkatnya tekanan darah
2. Penyakit
fisik, seperti psikosomatik (gangguan pencernaan, gatal-gatal, dan sebagainya
yang tidak disebabkan oleh kelainan fisik) dan meningkatnya angka kematian
3. Patologi
sosial, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan
kenakalan remaja
b. Dampak
pada tingkah laku sosial
1. Agresi
2. Menarik
diri dari lingkungan sosial
3. Berkurangnya
tingkah laku menolong
4. Kecendrungan
untuk lebih banyak melihat sisi jelek dari orang lain jika terlalu lama tinggal
bersama orang lain itu di tempat yang padat atau sesak
c. Dampak
pada hasil usaha dan suasana hati
1. Hasil
usaha atau prestasi kerja menurun
2. Suasana
hati (mood) cenderung lebih murung)
2.5 Peta
Mental
Definisi dan teori
tentang peta mental ini pertama kali
dirilis oleh seorang pakar geografi bernama Roger Downs yang bekerja sama
dengan seorang pakar psikologi bernama David Stea pada tahun 1973. Mereka
mendefinisikan peta metal sebagai berikut . Proses
yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan , mengorganisasikan, menyimpan dalam
ingatan , memanggil , serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi
relative dan tanda-tanda tentang lingkungan geografi kita (Holahan,
1982:56)
Peta mental adalah proses
aktif. Bukan hanya indera penglihatan yang berfungsi, melainkan juga
indera-inder lain, misalnya bangunan sekolah dekat tempat sampah yang bau dan
jalan tol yang bising. Bahkan tuna netra bisa membuat peta mental tanpa
menggunakan indera penglihatan sama sekali. Hasil rekaman dari indera-indera
itu kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan sebuah gambar
peta dalam ingatan kita. Makin banyak masukan dan makin lama kita mengenal
suatu daerah makan makin terinci dan baik peta mental kita.
Lynch (1960) (dalam Holahan,
1982:60) mengemukakan bagaimana cara pengukuran peta mental yang terdiri atas
beberapa unsur sebagai berikut :
1.
Tanda-tanda
yang mencolok (landmarks), yaitu
bangunan atau benda-benda alam yang berbeda dari sekelilingnya da terlihat dari
jauh, missal gedung , patung, tugu , jembatan , jalan laying, pohon , penunjuk
jalan , sungai, dan lampu lalu lintas.
2.
Jalur-jalur
jalan (paths) yang menghubungkan satu
tempat dengan tempat lainya.
3.
Titik
temu antarjalur jalan (nodes),
misalnya perempatan dan pertigaan.
4.
Batas-batas
wilayah (edges) yang membedahkan
antara wilayah yang satu dengan wilayah lainya, misalnya daerah pemukiman
dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang-gerbang tol menuju
tempat parker, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian
dari wilayah pemukiman.
5.
Distrik,
yaitu wilayah –wilayah homogen yang berbedah antara wilayah yang satu dengan
wilayah – wilayah lain misalnya pusat perdagangan ditandai dengan
bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu lintas yang padat dan daerah kantor-kantor
kedutaan asing ditandai oleh rumah-rumah besar besar dengan halaman-halaman
luas serta jalan-jalan lebar bertipe boulevard
(dengan taman dan pohon-pohon dijalur tengah)
Menurut Lynch, makin nyata
unsur-unsur itu dalam suatu lingkungan , misalnya lingkungan kota, makin mudah
orang menyusun peta mental. Artinya orang akan lebih cepat mengenal lingkungan
gografis yang ada. Itulah sebabnya orang tidak mudah tersesat di kota-kota
super metropolitan seperti London , New York, atau Tokyo karena kota-kota itu
dibuat dengan perencanaan kota yang sangat baik, distrik-distrik teratur dan
tertentu tempatnya, batas-batas wilayah jelas, jalur-jalur jala dan
persimpangan-persimpangan lurus-lurus serta bernomor urut, dan lardmarks mudah
ditemui dimana-mana. Sistem angkutan umum seperti kereta bawah tanah dan bus
kota dibuat sedemikian jelas sehingga setiap orang bisa membacadapat mengikuti
dengan mudah. Lain halnya seprti kota yang tumbuhnya tidak terencana seperti
kebanyakan kota di Indonesia. Di Jakarta misalnya, dulu nama-nama jalan
dikelompokan menurut wilayahnya. Nama-nama gunung di daerah Pasar Rumput,
nama-nama pohon didaerah Menteng , dan nama-nama sungai di Kebayoran. Namun
setelah banyak nama diganti dengan nama-nama pahlawan , system itu hilang dan
makin sukarlah kita menemukan suatu lokasi di Jakarta.
Fungsi peta mental selain
untuk mengatasi masalah lokasi dan jarak , juga bisa untuk tujuan komunikasi ,
bahkan untuk menunjukan identitas diri. Orang-orang dari luar Jakarta yang
pernah ke Jakarta, misalnya akan senang sekali kalau bisa saling bercerita
tentang Dunia Fantasi, TMNI atau Tugu Monas. Orang-orang Surabaya mungkin akan
bangga dengan Tugu Pahlawanya , sebagaimna orang Bukit Tinggi bangga dengan Jam
Gadangnya, London terkenal dengann Jembatan Londonya atau sungai Thamesnya. New
York dengan patung Libertinya, Paris dengan Menara Eiffelnya, dan sebagainya.
Masyarakat primitifpun mengidentifikasi dirinya dengan tanda-tanda alam.
Suku-suku yang tinggal di gunung mengidentifikasikan dirinya sebagai keturunan
dewa gunung , sedangkan orang-orang di pantai atau tepi danau memuja dewa laut
atau dewa air.
Di atas sudah disebutkan
bahwa peta mental orang bisa berbeda-beda. Faktor yang membedahkan peta mental
adalah (Holahan,1982:69-72) sebagai berikut.
1.
Gaya
hidup (Milgram 1976, 1977). Gaya hidup seorang menyebabkan timbulnya
selektivitas dan distorsi peta mental karena gaya hidup ini berpengaruh
terhadap tempat-tempat yang diketahui atau didatangi. Seorang yang selalu naik
mobil pribadi tidak akan tau rute bus kota.
2.
Keakraban
dengan kondisi lingkungan (Evans, 1980). Makin seseorang mengenal lingkungan
geografisnya, makin luas, makin kaya, dan makin terinci peta mentalnya.
3.
Keakraban
Sosial (Lee, 1980). Makin banyak teman bergaul makin luas wilayah yang
dukunjungi, da makin banyak ia tahu tentang wilayah-wilayah lain maka makin
baik pula peta mentalnya.
4.
Kelas
Sosial
a.
Makin
terbatas kemampuan seseorang , makin terbatas daya geraknya dan makin sempit
peta mentalnya (Michelson, 1973)
b.
Makin
tinggi kelas social seseorang , teman bergaulnya ada diseluh kota, bahkan luar
kota atau luar negeri, sedangkan makin rendah kelas sosialnya, lingkup
pergaulanya makin terbatas pada lingkungan tetanganya saja. Ini menyebabkan
juga perbedaan dalam peta mental (Orleans, 1973)
5.
Perbedaan
Seksual
Laki-laki lebih baik dan lebih terperinci peta
mentalnya dari pada perempuan kerena kesempatab pergaulanya dan ruang geraknya
juga lebih luas (Appleyard, 1970)
Selain itu, kualitas peta
mental juga ditentukan oleh keadaan objek-objek tertentu dalam lingkungan
geografis itu sendiri. Menurut Milgram (1972) (dalam Holahan, 1982:72), suatu
objek peta mental bisa dikenal atau kurang dikenal bergantung pada formula
berikut.
R = f (C x
D)
R = Recognisability atau keterkenalan suatu
objek di lingkungan
f = fungsi
C = Centrality atau berapa jauh posisi objek
itu dari pusat arus lalu lintas penduduk
D = Diference atau berapa jauh kadar
perbedaan secara arsiktektural atau secara social objek-objek lainya.
Dengan menggunakan formula diatas , dapatlah diterangkan mengapa China
Town di San Fransisco cukup terkenal, sebaliknya China Town di New York Kurang
dikenal dibandingkan Rockefeller Building di kota yang sama.
2.6
Stress
Setiap individu mempersepsikan rangsang dari
lingkungan, akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, rangsang itu
dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu bersangkutan yang
menyebabkan individu berada dalam keadaan homeostatis. Kemungkinan kedua,
rangsang itu dipersepsikan di luar ambang toleransi yang menimbulkan stress
pada individu.
Stress adalah beban mental yang oleh individu
bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan, untuk mengurangi atau
menghilangkan stress, individu melakukan tingkah laku penyesuaian. Jika
berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi kalau tidak
maka individu akan kembali pada keadaan stress lagi, bahkan mungkin stress itu
bertambah besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tau harus
berbuat apa dalam menghadapi stress, akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa
menjurus pada timbulnya gejala psikoneurosis.
Salah satu contoh dari kepanikan massal yang
ditimbulkan oleh masalah lingkungan, antara lain kasus love canal (kolata,
1980;1239). Love canal adalah sebuah daerah pemukiman di daerah air terjun
niagara, amerika serikat. Antara tahun 1947-1952 tempat itu adalah tempat
pembuangan sisa-sisa bahan kimia dari perusahaan hooker chemicals and plastic
coeporation. Prosedur pembuangan sampah kimia sudah dilakukan menurut ketentuan
yang berlaku pada saat itu sehingga dinilai tidak akan menimbulkan gangguan
atau bahaya.
Pada tahun 1953, daerah bekas tempat pembuangan
sampah itu dijual kepada niagara school board yang kemudian membangun sekolah
dan pemukiman ditempat itu. Akan tetapi, pada awal tahun’70-an mulai dicurigai
adanya kebocoran sampah kimia tadi yang menggangukesehatan pelajar maupun
penduduk. Sejumlah pelajar dan penduduk mengeluh agtal-gatal, jumlah penderita
kanker dilaporkan meningkat, dan jumlah keguguran serta bayi lahir cacat juga
bertambah.
Keluahn-keluhan ini sebenarnya sulit dibuktikan
karena catatan resmi tidak mendukungnya, tetapi mayarakat merasa perlu untuk
melakukan sesuatu. Akhirnya, dibentuklah sebuah tim oleh sebuah badan bernama
environmental protection agency (EPA) untuk mengadakan penelitian dampak
pencemaran lingkungan di love canal itu terhadap kesehatan penduduknya. Pada
awal tahun 1980 hasil penelitian membuktikan bahwa pencemaran bahan kimia yang terjadi bisa mempengaruhi
kromososm manusia sehingga dapat menimbulkan gejala-gejala kesehatan.
Seperti reaksi terhadap penemuan EPA itu masyarakat
memprotes dan menuntu pemerintah agar memindahkan pemukiman mereka. Pemerintah pun, atas instruksi
Presiden Carter, pada bulan mei 1980 melaksanakan evakuasi terhadap sekitar
2500 penduduk yang menelan biayaantara $3-5juta. Pengungsian ini ternyata tidak
meredakan stress penduduk yang sudah terllanjur panik. Pusat kesehatan
masyarakat setempat telah berusaha untuk menempatkan petugas konseling serta
menyebarkan buku-buku dan selebaran –selebaran yang menerangkan bagaimana
caranya mengatasi akibat yang tidak dikehendaki dari keracunan itu, tetapi
hasilnya hampir tidak ada. Jumlah yang amu datang untuk konseling hanya kurang
dari 100 orang (Holden,1980;1242).
Stress yang berkelanjutan ini cukup mengeharankan
karena ternyata setelah departemen kesehatan dan pelayanan manusia (department
of health and human services) menguji hasil penelitian EPA, terbukti bahwa
hasil penelitian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena
EPA membuat penelitian itu bukan untuk tujuan mencari pembuktian ilmiah,
melainkan sekadar mencari pembuktian hukum untuk menyeret perusahaan Hooker ke
pengadilan dengan maksud meminta ganti rugi. Tidak diduga sama sekali bahw
aakibatnya adalah kepanikan massal yang berkepanjangan. Seorang petugas palnang
merah setempat bahkan menyatakan stress yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau
gunung meletus dapat lebih mudah diatasi karena cepat berlalu daripada stress
yang terjadi di love canal yang kronis walaupun bahayanya tidak nyata.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dari
uraian diatas nampak bahwa privacy ini merupakan inti dari personal space.
Privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun
informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space
adalah perwujudan privacy itu dalam bentuk ruang (space).
2. Teritorialitas
adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak
seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis.
Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan
dari luar
3. Kesesakan
(crowding) dan kepadatan (density) memiliki keterkaitan satu sama lain, dimana
makin banyak jumlah manusia (kesesakan), makin padatlah keadaanya dan syarat
yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan adalah kepadatan.
4. Stress
adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau
dihilangkan, untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu melakukan
tingkah laku penyesuaian. Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan
homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada keadaan stress
lagi, bahkan mungkin stress itu bertambah besar.
3.2 Saran
Kajian-kajian
tentang persepsi Lingkungan masih
sangat perlu untuk ditingkatkan, karena dengan
mempelajari gejalah-gejalah persepsi pada individu kita dapat memahami pola pikir sesorang
kaitanya dengan kesehatan dan lingkungan.
Sumbernya mana kak?
BalasHapus